Inovasi Malaria

Berbagai inovasi terkait penanganan kasus malaria pada khususnya sudah banyak dilakukan. Inovasi tersebut terkait dengan teknologi digital untuk pelaporan maupun proses diagnosis yang melibatkan Artificial Intelligence didalamnya. Di beberapa negara dengan kasus malaria yang cukup signifikan, metode pelaporan yang konvensional akan memperlambat proses penanganan, maka beberapa inovasi yang memanfaatkan teknologi informasi dilakukan guna mendapatkan penanganan segera, terlebih jika lokasi pasien yang sulit dijangkau.

Inovasi yang dilakukan umumnya terkait dengan permasalahan yang spesifik pada daerah tersebut, seperti contohnya adanya permasalahan geografis, keterbatasan tenaga medis maupun sulitnya pelaporan sehingga pencegahan terlambat dilakukan.  Seperti contohnya Electronic Data System (EDS) yang dibuat untuk meningkatkan kualitas data malaria. Data yang sebelumnya masih paper-based, dibuat dalam bentuk digital guna memperbaiki manajemen kasus malaria di beberapa negara yang mendukung National Malaria Control Programs (NMCPs). EDS merupakan sistem yang dibangun custom dan open source, berbasis Java aplikasi Android yang terintegrasi dengan District Health Information Software 2 (DHIS2) (Burnett et al., 2019).

Sebuah penelitian dilakukan untuk meningkatkan kualitas dari petugas kesehatan terkait penanganan kasus malaria yaitu dengan mengirimkan pesan teks terkait informasi pasien rawat jalan malaria, dan juga memberikan motivasi kepada tenaga kesehatan melalui telepon seluler. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan kebiasaan dan peningkatan kualitas dalam menangani kasus malaria (Jones et al., 2012).

Di Papua New Guinea dibuat sebuat sistem informasi kesehatan untuk meningkatkan eliminasi malaria yang terintegrasi dengan National Health Information System (NHIS). Sistem ini menyatukan rumah dengan kode geografis tertentu, desa dan fasilitas kesehatan. Sejak 2015 sebanyak 160,750 kasus malaria telah terekam melalui e-NHIS. Sistem ini juga memanfaatkan Geografic Information System (GIS) untuk memberikan visual pada dashboard sistem untuk mengetahui daerah-daerah yang memberikan laporan (Rosewell et al., 2017).

Di kota Mangluru India, telah dibuat sebuah sistem berbasis Android yang terintegrasi dengan GIS untuk mendukung eliminasi malaria. Sistem ini dibuat untuk mengendalikan kasus malaria dengan database digital. Tujuan akhir dari sistem ini adalah untuk membuat pengawasan kasus malaria dengan membandingkan kasus menggunakan malariometric (Baliga et al., 2019).

Di Somalia dibuat sebuah sistem malaria dengan menggunakan sampel tiga area yang memuat informasi terkait peta fasilitas kesehatan umum dan swasta, tipe antimalaria yang digunakan, stok obat yang tersedia, jumlah staf, dukungan keuangan, dan informasi terkait keberadaan diagnosis malaria (Noor et al., 2009).

Selain itu ketepatan diagnosis juga merupakan hal yang penting dalam mengeliminasi malaria. Oleh karena itu kualitas dari mikroskopis perlu untuk memastikan bahwa diagnosis yang dilakukan akurat agar penanganan yang diberikan juga tepat. Tidak hanya ketepatan, waktu yang diperlukan untuk penegakan diagnosis menjadi permasalahan. Banyaknya daerah infeksi malaria merupakan daerah yang sulit terjangkau, sehingga memerlukan waktu yang panjang untuk penegakan diagnosa. Perkembangan teknologi kesehatan yang didukung oleh teknologi informasi telah mengarah ke AI (Artificial Intelligence), yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahan human error.

Beberapa pengembang telah melakukan inovasi terkait AI untuk malaria, seperti Hydas World Health yang membuat inovasi untuk menghitung parasit yang terdapat pada dataset WHO55. Namun akurasi yang dihasilkan masih dibawah 90% (Prescott et al., 2012) . Phillips Group juga melakukan hal yang sama dengan memanfaatkan automatic vision untuk mendeteksi parasit Plasmodium falciparum. Sistem ini telah mendeteksi sebanyak 5420 parasit, namun hanya memberikan 75% sensitifitas (Vink et al., 2013).  Global Health dari Thailand membuat sebuah instrumen yang dinamakan Autoscope yang dilatih menggunakan dataset WHO55 untuk mendeteksi parasit Plasmodium falciparum dan parasit lainnya seperti dengan uji lapangan. Hasil menunjukkan parasit Plasmodium falciparum lebih mudah dideteksi dibanding parasit lainnya dan sediaan darah tipis lebih mudah dideteksi dibandingkan dengan sediaan darah tebal (Delahunt et al., 2015). Inovasi lainnya adalah sistem berbasis mobile yang dapat mendeteksi parasit Plasmodium menggunakan image processing dengan mengadaptasi teknik sebagaimana yang dilakukan untuk deteksi wajah. Algoritma yang digunakan menghasilkan klasifikasi yang lemah karena mengurangi preprocessing dalam penerapannya namun hasil yang diberikan cukup baik yaitu akurasi sebesar 91% (Oliveira et al., 2017).

Sebuah teknologi disruptif tentunya tidak lepas dari implikasi-implikasi serta potensi-potensi yang hadir karena berkembangnya sebuah inovasi. Berkaca daripada perkembangan teknologi disruptif tentunya akan sangat sulit jika inovasi yang ada tidak dipayungi secara legal oleh pemerintah. Dari catatan perkembangan Pemantapan Mutu Eksternal dari kementerian kesehatan serta perkembangan inovasi digital uji silang, terdapat peluang dan tantangan yang signifikan dari sisi regulasi. Sejauh ini belum ada peraturan yang secara khusus membahas baik mengenai regulatory sandbox maupun pemantapan mutu eksternal dan malaria digital secara komprehensif. Disini muncul berbagai pertanyaan apakah teknologi ini dapat diterima dan dapat dipakai untuk membantu program eliminasi malaria secara nasional? Apakah para pengguna di lapangan nantinya dapat menggunakan teknologi baru ini dengan perasaan aman dan nyaman ataukah mereka membutuhkan regulasi yang dapat menjamin hak dan kewajiban pengguna selama memanfaatkan teknologi tersebut?